Diberdayakan oleh Blogger.

Di Balik Camilan Itu....

Posted by Catatan Jurnalis

Hari ini matahari sedang bahagia. Tak ada awan pekat yang menghalanginya, untuk memandangi jutaan manusia. Jutaan manusia yang hiruk-pikuk berkeliaran di tanah hijau yang kini berubah menjadi coklat hingga abu-abu atau bahakan hitam pekat. Sementara itu, langkah kakiku terus berjalan menuju sebuah tempat berukuran 3 x 3 diantara gang-gang tikus, jalur cepat menuju tempat tinggalku sembilan bulan terakhir. Yah, Sembilan bulan sudah aku melihatnya dibalik tumpukan camilan anak-anak di depan sebuah tempat belajar yang orang menyebutnya PAUD.

Matahari menyapaku dengan teriknya, sesaat setelah aku berbusa dengan teman-teman di kelas. Berbusa mengkritisi fenomena mahkluk yang mengaku manusia namun perilakunya jauh dari sifat manusia. Mahkluk yang mengaku diciptakan sebagai “mahkluk paling sempurna”, tapi kelakuannya jauh dari kata “sempurna”. Entahlah, terkadang aku pun berpikir, masihkan pantas aku menyebut diri ini manusia?

 “Harusnya aku tidak memakai jaket ini, ini membuatku cepat berkeringat”, batinku. Keringat di punggungku terasa mengalir bebas tepat sejajar dengan tulang punggungku. Sreet… itu yang kurasakan. Setetes air mengalir begitu terasa. Di ujung jalan itu aku berbelok ke kiri. Dari ujung jalan, aku bisa melihat tumpukan camilan terpajang dan tertata rapi di sana. Ada seorang gadis menundukkan badannya di antara jajanan anak kecil itu.

Langkahku perlahan mengurangi kecepatannya dan berhenti di belakang gadis itu. Aku mematung disana. Menunjuk-nunjuk berbagai jajanan murah-meriah. Di balik meja itu, pemilik warung tengah melayani gadis yang rupanya membeli obat masuk angin. Seketika aku terdiam. Diam memperhatikan pemilik warung yang memotong obat dengan gunting. Setelahnya aku memesan minuman segar dari pemilik warung itu.

Badannya selalu membungkuk. Seolah ia tidak percaya diri. Seperti biasa, aku selalu membuatnya untuk berdiri tegap dengan meminta diambilkan ini-itu. Aku ingin melihat matanya dibalik bingkai kaca yang menjadi ciri khasnya. Aku ingin melihatnya senyum dari hatinya. Aku ingin tahu suasana hatinya. Aku hanya ingin tau, apa yang ada di hatinya.
Seperti calon ayah yang menanti bayinya menangis ketika keluar dari perut sang ibu. Setelah sembilan bulan lamanya. Hari itu pun datang juga.  Hari ini aku melihatnya.  Melihat matanya. Melihat tatapan kosong. Dan inilah bonusnya, sebersit senyumannya ketika ia memberikan minuman segar yang kupesan.


Masih banyak yang ingin aku tau tentangnya. Tatapan mata itu, senyum itu, dan tentang orang yang selalu ada di belakangmu. Aku tak yakin bisa tau tentang semua itu, karna untuk melihat matamu saja, aku harus menunggu selama ayah menunggu kelahiran anaknya. Tapi, disisa waktuku, aku akan bersabar menunggu dan berharap tidak menunggu selama sebuah keluarga menanti hadirnya buah hati. 

Related Post



Posting Komentar