Diberdayakan oleh Blogger.

Tak-tok Tak-tok…


Jam di tangan kananku menunjukkan angka tiga. Tiga puluh menit lagi, kelas kepribadian dimulai. Jika bukan karna absenku yang tak tertolong, ingin rasanya aku tetap tinggal di rumah. Menghabiskan waktu bermalas-malasan dengan Bobby ikan koi kesayanganku, yang baru kubawa ke rumah sabtu lalu. Sebenarnya berat meninggalkan Bobby di rumah, karna aku harus kehilangan lagi sahabat setia sepanjang masa.  Memboyong Bobby beserta kolam antiknya ke rumah, menjadi pilihan terakhir untuk menyelamatkannya dari kesibukanku yang menanti di ujung waktu. Tepat sebulan lagi, aku harus menyebrang pulau untuk menjalani praktik kuliah di sebuah perusahaan sawit di Kalimantan.

Seharusnya tiga puluh menit waktu yang cukup untukku sampai di kelas dari tempatku indekos. Namun, itu menjadi waktu yang begitu mepet ketika aku harus mengganti jeans hitam dan kaos oblong serta jaket jeans yang saat ini kukenakan. Stelan favorit yang membuatku menjadi diri sendiri. Membuatku terlihat friendly, gesit dan tentunya santai. Namun, untuk mata kuliah yang satu ini, aku terpaksa menanggalkannya. Menggantinya dengan satu stel baju formal. Kemeja putih berenda di dada yang dimasukkan kedalam celana katun. Memakai blezzer hitam dan ini yang paling membuatku tersiksa. Kerudung warna putih dan sepasang sepatu berhak setinggi 5 cm.

Jika dulu aku mati-matian menolak keras slogan “I Hate Monday”, kali ini aku harus memasang bendera putih, karna itu memang benar adanya. Sejak aku duduk di bangku sekolah dasar, aku sangat menyukai hari senin. Bagiku, tak ada hari terindah selain hari senin. Tapi sejak mata kuliah di semester enam ini, aku terpaksa membenci hari senin.

Butuh waktu dua puluh menit untukku mengganti pakaian dan berdandan ala seorang PR (Public Relation) perusahaan besar. Waktu yang paling singkat diperlukan oleh mahasiswi yang begitu menginginkan menjadi seorang PR andalan perusahaan. Teman-temanku biasanya menghabiskan waktu 20-45 menit untuk berdandan semenarik mungkin, yang bagiku justru semenor mungkin.
****
Tak-tok-tak-tok….
Suara paling kubenci yang justru keluar dari kakiku. Tinggal sepuluh menit waktu yang tersisa untuk sampai di kelas. Tak ada angkot ataupun ojek, membuatku terpaksa berjalan kaki. Langkahku kakiku lebar dan cepat membuat dalam sepuluh menit pasti sampai di kelas tepat pada waktunya.

Kembali kulihat jam di tangan. Aku terperanjat karna waktuku kini kurang dari sepuluh menit. Kupercepat langkahku, membuat bunyi sepatu semakin nyaring. Jam segini memang masih sepi. Warga komplek baru akan keluar bertetangga saat terik matahari mulai meredup. Namun perlahan kakiku melambat. Suara sepatu itu berangsur pelan. Sosok di ujung jalan penyebabnya.

Pria berkacamata dengan poni panjang dari kanan ke kiri. Model rambut ala emo yang hits empat tahun lalu, tak membuat sosoknya terlihat norak. Gaya emo dari ujung rambut hingga ujung kaki tak membuatnya sedikitpun terlihat sebagai anak gaul dimasanya. Bagiku justru ia seperti sebuah patung pajangan di toko pakaian. Pria seumuranku itu berdiri tepat di depan rumahnya.

Tak-tok tak-tok….
Suara sepatu melambat. Kini aku tepat tiga meter lebih tiga senti di depannya. Aku berusaha melempar senyumku saat ia melihatku sambil mengunci gerbang rumahnya yang hanya setinggi dadanya. Ia menatapku. Kosong. Tak ada balasan senyum atau anggukan yang menjadi impianku selama ini. Ia berlalu begitu saja memasuki rumahnya. Akupun tersadar. Ia tak lagi mengenaliku.

Tak-tok tak-tok….
Suara sepatu itu membawaku kembali ke masa kecilku. Di bawah sebuah pohon beringin. Tempatku habiskan waktu bermain di taman komplek. Tempat aku dan dia bermain petak umpet atau bola kasti bersama teman-teman sepermainan. Tempat kau melindungi aku dari Andri dan teman-temannya yang sering meledekku.

Tak-tok tak-tok…
Suara sepatu itu membawaku ke lima belas tahun silam. Kembali pada saat perpisahan itu. Sambil membawa sekop kecil dan kaleng bekas kue, kau datang ke rumahku. Kau mengajak ke tempat kita bermain petak-umpet. Tak lupa kau memintaku membawa buku dan dua pensil. Ya. Aku sangat ingat, saat itu aku baru bisa menulis dengan lancar, dan kau pun sama. Ibu sering membandingkan tulisanku dengan tulisanmu. Biarpun kau laki-laki, tulisanmu lebih rapi dariku.

Aku ingat, saat itu ibu sempat tidak mengizinkanku untuk pergi, karna sebentar lagi mobil kantor ayah akan datang menjemput. Tak kehabisan akal, akupun mengajakmu segera berlari sebelum ibu keluar dari kamarnya. Jarak dari rumah ke taman memang tak jauh, hanya 200 meter. Di bawah pohon beringin itu aku dan dia duduk saling membelakangi. Di secarik kertas, kita tuliskan harapan lima belas tahun mendatang. Aku memasukkan ke dalam kaleng yang dibawanya tadi. Setelah itu ia menguburkan kaleng tersebut tepat di bawah pohon beringin.

“Nanti kalo kita udah lulus kuliah, baru kita buka kaleng ini yah”, katanya sambil menginjak-injak tanah.

“Iyah Bob… Kamu juga harus janji nggak akan buka duluan sebelum aku datang…”, aku memperingatkan.

“Iyah, tenang aja. Kan kata Bunda juga nggak boleh ingkar janji. Kalo ingkar janji Tuhan bisa marah sama kita… Ya udah, kita pulang yuk! Bentar lagi kan kamu harus berangkat!”, menarik tanganku pulang.

Dari depan gang, terlihat sebuah truk dan mobil kijang hitam terparkir tepat di depan rumahku. Hari itu memang waktu kepindahanku ke Bogor. Mutasi kerja yang diterima ayah, mengharuskanku untuk ikut pindah juga dari Bandung, kota kelahiranku. Bobby mengantarkanku pulang ke rumah untuk terakhir kalinya. Bobby memang selalu mengantarku pulang ke rumah untuk berjaga-jaga dari kejahilan Andri dan kawan-kawannya.

Tiiinntiiinn…. Suara klakson mobil itu menghempaskanku ke sebrang jalan. Seseorang mendorongku keras ke ujung jalan. Aku jatuh tersungkur dalam hitungan detik. Decit rem yang memecit menarik perhatian orang di sekitar. Teriakan seorang anak laki-laki yang sangat kukenal tak lama terdengar. Tangisku pun pecah melihat Bobby bersimbah darah segar dari kepalanya. Tubuhku lemas dan tiba-tiba aku tak ingat apapun setelahnya.

Tak-tok tak-tok… 
Suara sepatu itu menyadarkanku akan tatapan kosong pria yang memakai jam di tangan kanan tadi. Pria yang pernah mendorongku hingga jatuh tersungkur. Bobby. Ia tak lagi mengenaliku. Gadis yang ditolongnya lima belas tahun lalu. Bobby. Tak pernah ingat apapun tentangku. Bobby. Sahabat yang tak mengenali sahabatnya.

Tak-tok tak-tok… 
Suara sepatu semakin melemah. Mataku panas. Air mata meuncur deras di pipi yang dulu dicubitnya gemas. Seketika aku tersadar dan melirik jam ditanganku. Jarum jam menunjukkan angka 03.30. Aku terlambat!, desisku. Kupercepat kembali langkahku. Tinggal 100 meter aku sampai di depan kelas. Masih ada waktu.

Tak-tok tak-tok…
Suara itu semakin tak terdengar. Suara sepatu itu tak lagi terdengar ditengah hiruk-pikuknya mahasiswa yang berlalu-lalang. Jam pergantian jadwal selalu riuh dengan berbagai ekspresi mahasiswa atau dosen usai mengajar. Ada yang bergegas ke luar kelas menuju kantin. Ada yang memilih duduk di depan kelas sambil menunggu dosen selanjutnya. Adapula yang berdiskusi dengan dosen sabil berjalan atau sekedar membicaraan hal-hal yang ringan. Aku sampai di depan kelas tepat pukul 03.33. Terlambat tiga menit. Untungnya dosen belum datang.

Tak-tok tak-tok… 
Suara sepatu itu kembali terdengar. Lebih riuh dan kencang. Yah, bukan hanya aku seorang yang berhak tinggi. Semua teman-temanku memakai sepatu yang sama.
****
Note :
Terinspirasi dari seorang anak penjaga warung di Jalan Kosambi