Hari
ini matahari sedang bahagia. Tak ada awan pekat yang menghalanginya, untuk
memandangi jutaan manusia. Jutaan manusia yang hiruk-pikuk berkeliaran di tanah
hijau yang kini berubah menjadi coklat hingga abu-abu atau bahakan hitam pekat.
Sementara itu, langkah kakiku terus berjalan menuju sebuah tempat berukuran 3 x
3 diantara gang-gang tikus, jalur cepat menuju tempat tinggalku sembilan bulan
terakhir. Yah, Sembilan bulan sudah aku melihatnya dibalik tumpukan camilan
anak-anak di depan sebuah tempat belajar yang orang menyebutnya PAUD.
Matahari
menyapaku dengan teriknya, sesaat setelah aku berbusa dengan teman-teman di
kelas. Berbusa mengkritisi fenomena mahkluk yang mengaku manusia namun
perilakunya jauh dari sifat manusia. Mahkluk yang mengaku diciptakan sebagai
“mahkluk paling sempurna”, tapi kelakuannya jauh dari kata “sempurna”.
Entahlah, terkadang aku pun berpikir, masihkan pantas aku menyebut diri ini
manusia?
“Harusnya aku tidak memakai jaket ini, ini
membuatku cepat berkeringat”, batinku. Keringat di punggungku terasa mengalir
bebas tepat sejajar dengan tulang punggungku. Sreet… itu yang kurasakan.
Setetes air mengalir begitu terasa. Di ujung jalan itu aku berbelok ke kiri.
Dari ujung jalan, aku bisa melihat tumpukan camilan terpajang dan tertata rapi
di sana. Ada seorang gadis menundukkan badannya di antara jajanan anak kecil
itu.
Langkahku
perlahan mengurangi kecepatannya dan berhenti di belakang gadis itu. Aku
mematung disana. Menunjuk-nunjuk berbagai jajanan murah-meriah. Di balik meja
itu, pemilik warung tengah melayani gadis yang rupanya membeli obat masuk
angin. Seketika aku terdiam. Diam memperhatikan pemilik warung yang memotong
obat dengan gunting. Setelahnya aku memesan minuman segar dari pemilik warung
itu.
Badannya
selalu membungkuk. Seolah ia tidak percaya diri. Seperti biasa, aku selalu
membuatnya untuk berdiri tegap dengan meminta diambilkan ini-itu. Aku ingin
melihat matanya dibalik bingkai kaca yang menjadi ciri khasnya. Aku ingin
melihatnya senyum dari hatinya. Aku ingin tahu suasana hatinya. Aku hanya ingin
tau, apa yang ada di hatinya.
Seperti
calon ayah yang menanti bayinya menangis ketika keluar dari perut sang ibu.
Setelah sembilan bulan lamanya. Hari itu pun datang juga. Hari ini aku melihatnya. Melihat matanya. Melihat tatapan kosong. Dan
inilah bonusnya, sebersit senyumannya ketika ia memberikan minuman segar yang
kupesan.
Masih
banyak yang ingin aku tau tentangnya. Tatapan mata itu, senyum itu, dan tentang
orang yang selalu ada di belakangmu. Aku tak yakin bisa tau tentang semua itu,
karna untuk melihat matamu saja, aku harus menunggu selama ayah menunggu
kelahiran anaknya. Tapi, disisa waktuku, aku akan bersabar menunggu dan
berharap tidak menunggu selama sebuah keluarga menanti hadirnya buah hati.
Posting Komentar