Lebih dari tiga abad silam, Indonesia sibuk
melawan penjajahan yang dilakukan bangsa barat
yang hendak menguasai tanah zamrud khatulistiwa. Namun 70 tahun setelah
berhasil merebut kemerdekaannya, Indonesia justru harus berperang melawan
korupsi yang dilakukan oleh bangsanya sendiri. Maraknya kasus korupsi yang
ditangani KPK dalam sepuluh tahun terakhir seolah menjadi cermin melemahnya
moral bangsa.
Kasus korupsi tidak hanya terjadi diranah politik,
seperti yang banyak diberitakan berbagai media massa. Kasus perampokan yang
dilakukan oleh kaum intelektual berdasi ini juga merambah pada sektor
pendidikan. Sungguh ironi memang, ketika moral bangsa yang kian memburuk,
pendidikan yang diandalkan untuk memerangi penyakit moral malah menjadi ladang empuk
bagi para pengemban amanah yang tidak amanah untuk memperkaya diri dengan cara
instan tanpa memikirkan akibat selanjutnya.
Catatan Satu Dasawarsa ICW (Indonesia
Corruption Wacth)
Dikutip dari situs www.antikorupsi.org , berdasarkan hasil pemantauan ICW diketahui dalam kurun waktu 2003-2013,
penegak hukum (kepolisian, kejaksaan dan KPK) berhasil menindak kasus korupsi
pendidikan sebanyak 296 kasus dengan jumlah tersangka 479 orang dan indikasi
merugikan keuangan Negara sebesar Rp. 690,0 miliar.
Dilihat dari objek korupsi, DAK (Dana Alokasi
Khusus) merupakan dana pendidikan yang paling sering dikorupsi dengan jumlah 84
kasus dan merugikan Negara terbesar
hingga 265,1 miliar. BOS (Bantuan Oprasional Sekolah) menjadi kasus terbanyak
kedua dengan jumlah kasus 48. Korupsi terkait sarpars PT jumlahnya 9, namun
merugikan Negara hingga Rp. 57,7 miliar. Modus yang palig sering digunakan
dalam 106 kasus yaitu penggelapan. Hampir 50% dari kasus korupsi yang terjadi
pada DAK dan BOS bermodus penggelapan karena merupakan dana yang mudah
diselewengkan.
Dinas pendidikan merupakan tempat terjadinya
kasus korupsi paling banyak dengan 151 kasus dan indikasi kerugian Negara sebanyak
Rp. 365,5 miliar. Selanjutnya disusul oleh lembaga seperti kemendikbud dan
perguruan tinggi yang menjadi tempat paling banyak dikorupsi. Meski jumlah
kasus korupsi yang terjadi kemendikbud dan perguruan tinggi tidak begitu banyak
secara kuantitas, namun mengakibatkan kerugian Negara sebanyak Rp. 397,1
miliar.
Disektor ini, Jawa Barat merupakan provinsi
paling banyak terjadi korupsi yaitu 33 kasus, namun bukan paling banyak
merugikan Negara yaitu Rp. 22,7 miliar. Justru provinsi Banten yang paling
banyak merugikan keuangan Negara hingga Rp. 209,0 miliar .
“Masih maraknya korupsi sektor pendidikan
adalah masih minimnya penerapan perbaikan tata kelola, yaitu transparansi,
partisipasi dan akuntabilitas”, ujar pihak ICW yang diwakilkan Tari selaku
divisi monitoring pelayanan public.
Kata Mereka….
Sebagian besar orang terbiasa mendengar kasus
korupsi yang dilakukan para politikus atau tokoh politik. Sementara itu, jarang
media yang memberitakan kasus korupsi didunia pendidikan. Seperti yang telah
dijelaskan, korupsi didunia pendidikan tidak sebanyak kasus korupsi yang
dilakukan elit politik. Namun Negara mengalami kerugian yang tidak sedikit di
sector pendidikan ini.
Pakar Politik UIN Sunan Gunung Djati Bandung,
Drs. Mahi Hikmat mengatakan,” Anggaran negara yang dialokasikan oleh pemerintah
pusat mencapai 20% dari total APBN yang dikeluarkan pemerintah dalam berbagai
sektor. Hal tersebut secara tidak langsung ikut memperbesar kesempatan bagi
para oknum yang tak bertanggung jawab, untuk melakukan tindakan penyelewengan
(korupsi)” saat ditemui Suaka pada 16 Januari lalu.
Menanggapi hasil pantauan ICW, dosen di
Fakultas Adab dan Humaniora ini mengatakan bahwa ada banyak faktor yang
melandasi terjadinya korupsi diberbagai sektor terutama di bidang pendidikan,
yaitu kulaitas suprastruktur yang belum memadai, moralitas pejabat lembaga
pendidikan, SDM yang belum mampu mengelola administrasi, dan pelaksanaan UU No.
14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP).
Selain itu, peran serta masyarakat dalam
mengawasi lembaga publik serta penananman kultur transparansi yang masih minim
dilakukan badan publik seperti legislative, eksekutif maupun yudikatif hingga
lembaga atau perusahaan milik Negara maupun swasta. Apabila UU KIP ini
dimaksimalkan oleh seluruh elemen masyarakat, secara tidak langsung, masyarakat turut serta dalam pengawasan
program-program yang dicanangkan lembaga publik. Disisi lain, masyarakat berhak
meminta transparansi dari setiap kebijakan yang dibuat, khususnya dalam
pengalokasian anggaran. Hal ini tentu saja bertujuan untuk meminimalisir
penyelewengan yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab.
Di Indonesia, permasalahan transparani memang
belum menjadi kultur yang membudaya di lingkungan lembaga maupun masyarakat
sipil. Walaupun UU tentang transparansi sudah lama diundangkan, namun tampaknya
masalah transparansi belum bisa diselesaikan . Lembaga publik justru terkesan
antipati dengan transparansi, apalagi jika berhubungan dengan masalah anggaran.
Bukan hanya kerugian dalam bentuk materi saja
yang dihasilkan dari korupsi, secara tidak disadari, korupsi bisa memengaruhi mental seseorang.
Seperti yang dikatakan guru besar pendidikan UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Prof.
Ahmad Tafsir ,” Sebetulnya sifat korupsi itu yang berdampak membuat orang malas, kerja kurang loyal. Dalam
pembangunan, seandainya APBN itu dikorup tiga puluh persen, pembangunan masih
jalan! Sifat korupnya ini yang membuat loyalitas seseorang itu mundur”.
Kasus korupsi yang terjadi didunia pendidikan
memang tidak memiliki pengaruh besar
secara langsung terhadap proses
pembelajaran yang ada di sekolah atau lembaga pendidikan. Namun, hal ini bisa
menyebabkan rusaknya mental seseorang terhadap pola pikirnya. Orang yang
bekerja puluhan tahun sesuai dengan ketentuan (jujur), bisa menjadi malas
ketika melihat seseorang yang baru bekerja beberapa tahun namun bisa
menghasilkan ini-itu dalam waktu yang singkat dan tidak masuk akal padahal gaji
yang diterima tidak jauh beda. Pada akhirnya bisa jadi produktifitas kerja
seseorang akan berkurang. Pilihannya, ia akan ikut dalam lingkaran setan
tersebut (ambil bagian dalam praktik korupsi) atau membiarkannya tanpa ada
perlawanan karna faktanya justru banyak orang justru memilih terlibat. Jika hal ini diabaikan, moral anak bangsa
hanya tinggal menunggu kehancuran.
Rusaknya moral berawal dari pemahaman agama
yang masih minim. Andai saja setiap orang memiliki pemahaman agama yang baik
serta diaplikasikan dalam kehidupan sehari-harinya. Sebesar apapun godaannya,
kecil kemungkinan orang tersebut masuk
dalam lingkaran setan mematikan tersebut. Sayangnya, pemahaman tentang agama
yang lemah sehingga akhlak pun berbadingan lurus.
“Kesalahan pendidikan di kita itu dari dulu,
dari awal-awal dalam UU pasal 2 dan 3 itu tidak disebut akhlak sebagai fokus
pendidikan, melainkan kecerdasan sebagai fokus pendidikan. Kalau Indonesia mau
maju, ubahlah pasal tiga itu, bahwa fokus pendidikan Indonesia itu adalah
akhlak. Jadi akhkkak ini pondasinya”, kata dosen di Fakultas Tarbiyah dan
Keguruan UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Pendidikan setinggi apapun tidak akan berguna
jika akhlaknya tidak baik. Sudah terbukti, justru banyak koruptor yang ternyata
berpendidikan tinggi. Pada dasarnya, pendidikan formal belum cukup membentuk
kepribadian individu yang baik. Korupsi yang
merupakan gejala mental sejak usia dini melibatkan aspek kognisi.“Pendidikan tinggi
bukanlah jaminan seseorang untuk tidak melakukan tindak korupsi”, ujar dosen
Fakultas Psikologi, Dr. Hj. Ulfiah, M.Si. Ia juga menambahkan, dalam hal ini,
korupsi dipengaruhi oleh perasaan ingin menguasai dengan menghalalkan segala
cara tanpa ada super ego yang kuat. Korupsi yang merupakan gejala mental yang
tidak sehat, pada akhirnya dapat membentuk kebiasaan-kebiasaan tidak baik.
Apa yang harus dilakukan ?
Nasi memang sudah menjadi bubur dan bubur tak
mungkin kembali menjadi nasi. Menjadikan bubur yang enak adalah solusi terbaik
daripada harus menggutuki yang teah terjadi. Begitupun dengan maraknya kasus
korupsi yang terjadi di Indonesia. Perlawanan terhadap tindak korupsi sudah
pasti, namun bagaimana kita harus memulai?
Ada banyak hal yang bisa kita lakukan untuk
menanggulangi dan mencegah perkembangnya praktik korupsi. Jika faktor
permasalahan korupsi dari transparansi, maka pemerintah harus meningkatkan kualitas SDM yang mengelola lembaga publik diberbagai sektor.
Selain itu UU No. 14 tahun 2008 tentang KIP juga harus diaplikasikan oleh
setiap badan publik yang dibiayai sepenuhnya maupun sebagian oleh dari APBN maupun
APBD. “Masyarakat juga harus dilibatkan sebagai pihak yang ikut
mengawasi kebijakan yang dijalankan suatu lembaga publik.”, ujar Drs. Mahi Hikmat yang mengambil
gelar doktor komunikasi politiknya di UNPAD.
Hal tersebut diamini oleh Tari, “Jika anggaran
pendidikan tidak dikelola dengan tata kelola yang baik, maka korupsi di sektor
pendidikan masih akan terjadi”.
Pengelolaan anggaran pendidikan harus disertai
dengan peningkatan pengawasan dan partisipasi publik. Hal ini juga harus
berbanding lurus dengan lembaga publik yang juga menerapkan asas transparansi
mulai dari membuka perecanaan kebijakan publik dan anggarannya pada masyarakat.
Selain mendapat pengawasan dari
masyarakat, BPK harus lebih aktif dalam melakukan audit terhadap dana-dana
pendidikan. Karena hal ini mampu meningkatkan pengawasan terhadap dana
tersebut.
Sementara
itu, menurut dilihat dari perspektif pendidikan, ada dua hal yang harus
dilakukan dalam mengatasi krisis moralitas ini. pertama sistem pendidikan harus
diperbaiki. Bukan hanya pendididkan disekolah, tapi pendidikan di lingkungan
masyarakat pun harus diperbaiki. Mulai dari mengubah paradigm hingga tingkah
laku. Selain itu focus pendidikan harus diubah dari kecerdasan menjadi akhlak.
“Akhlak tidak
banyak dibentuk dari pemikiran, tapi lewat peneladanan, pemotivasian dan
penegakkan aturan. Inti dari permasalahan di Indonesia adalah kemerosotan
akhlak.”, tambah Prof. Ahmad Tafsir
yang ditemui Suaka pada 22 Januari silam di Gedung Pasca Sarjana.
Kru Liput :
Hengky Sulaksono
Dede Lukman Nulhakim
Ratu Arti Wulan Sari
Posting Komentar